“Pemalas ini rupanya dapat merasa kesepian juga.”
Itu pikir saya pada diri sendiri, yang belakangan ini kerap mendambakan sedikit kehangatan dan afeksi dari orang lain. Siapa yang dapat saya salahkan? Saya seorang dewasa muda yang memang sudah memasuki masa-masanya menjalin hubungan intim atau mencari pasangan.
Barangkali memang saya terkesan seperti orang yang kesepian, tetapi jangan salah paham. Saya memiliki teman-teman yang peduli dan dapat saya ajak berbagi cerita ketika saya membutuhkan.
Meskipun demikian, ada kalanya saya menginginkan sesuatu yang lebih. Bagi saya pribadi, terkadang masih sulit untuk menyeimbangkan pikiran, atau menentukan prioritas, di antara pilihan untuk mencari the right one dan berfokus membangun serta memperbaiki diri. Bagi sebagian orang, kedua hal tersebut mungkin saja dilakukan secara bersamaan. Akan tetapi, saya cukup menyadari bahwa pilihan kedua harus saya lakukan dengan baik dan sungguh-sungguh sebelum saya mencoba pilihan pertama.
Sulit? Dalam kasus saya, sangat sah dianggap begitu. Nyatanya saya masih sering mengutuk dunia dan caranya memperlakukan saya. Tulisan ini pun mungkin akan lebih terasa seperti rangkuman sesi konseling saya daripada sebuah sarana berbagi pandangan dan pengalaman.
Beberapa hari lalu, saya berbincang dengan seorang teman dekat perihal “masalah” ini. Kesimpulan yang kami dapatkan adalah bahwa ketidakpuasan dan perasaan iri (yang dalam konteks ini, terhadap hubungan intim orang lain) memang seringnya muncul dari rasa takut dan insecurity. Ketika saya merasa sedang membutuhkan sosok lain dalam hidup ini, rupanya kembali yang harus dibenahi adalah diri saya sendiri.
Tebak siapa yang akan menyalahkan serta menghukum diri sendiri lagi setelah hari ini usai karena perasaan insecure dan iri. Bukan, bukan saya. Semoga bukan saya dan bukan juga salah satu dari kita.
Saya menyadari bahwa saya belum pantas mendapatkan apa yang saya inginkan. Saya mencari dan membuat-buat pembenaran atas kesendirian yang bahkan tidak pernah sekali pun salah sedari mulanya.
Bicara soal iri atas apa yang orang lain miliki, saya pikir perasaan tersebut cukup luas dan dapat mencakup beragam aspek dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Rasa iri mempunyai hubungan dengan keinginan membandingkan diri sendiri dan orang lain, juga memunculkan perasaan gagal dan benci. Saya sendiri agaknya sedikit terlalu gemar menciptakan kesimpulan bahwa saya tidak akan mencapai keberhasilan atau memiliki nasib baik setelah apa yang saya alami perihal kedekatan secara intim dengan orang lain. Melihat situasi tersebut, tidak heran jika rasa iri dapat menjadi sumber risau hati.
Kembali ke upaya mencari titik nyaman di antara kedua pilihan yang saya sebutkan di bagian awal, saya teringat bahwa dalam hidup saya, yang lebih penting dari sebuah tujuan adalah proses yang dilalui untuk mencapai tujuan tersebut. Pilihan kedua lebih mudah diucap daripada diperbuat bagi saya. Sementara itu, untuk pilihan pertama, bisa saja saya dengan asal atau sembarangan memilih seseorang untuk menjadi the right one. Kalaupun demikian kasusnya, saya belum tentu akan menikmati apa yang saya peroleh. Entah ada prioritas, nilai, atau perasaan yang saya korbankan.
Oleh karena itu pula, saya berusaha melalui dan menghargai proses yang ada: proses diri saya berkembang untuk merasa nyaman. Saya akan berpikir dan mencoba melakukan rasionalisasi bahwa mungkin memiliki pasangan bukanlah sesuatu yang benar-benar saya inginkan. Bulan kasih sayang ini memberikan pelajaran tersendiri bagi saya untuk tidak terburu-buru menilai dan melihat segala halnya hanya dari satu sisi.
Jika memang kelak dimungkinkan, tentu akan ada orang yang tangannya dapat saya genggam dan pagi harinya dapat saya cerahkan dengan sepiring sarapan.
I should be happy with myself. I’m not speaking for anyone else.
Referensi:
Vermani, M. (2023, June 6). Understand and conquer envy. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/intl/blog/a-deeper-wellness/202306/understand-and-conquer-envy